SURABAYA, KOMPAS.com — Bisnis prostitusi di Lokalisasi Dolly atau Jarak, Surabaya, Jawa Timur, sudah menjadi mata rantai yang saling mengait.
Tidak hanya melibatkan pekerja seks komersial (PSK) dan mucikari, oknum aparat pemerintah mulai dari RT/RW, kelurahan, hingga kecamatan pun menikmati hasil bisnis ini.
Bagi PSK, bisnis ini mampu membuat mereka meraup puluhan juta rupiah, begitu juga dengan mucikari. Bahkan mucikari yang merangkap berjualan bisa meraup keuntungan berlipat. Dalam sehari—jika kondisi ramai—setiap wisma bisa menghabiskan tiga krat bir.
Harga per krat bir yang dibeli dari distributor sekitar Rp 160.000 untuk bir hitam atau Rp 12.000 per botol. Adapun bir putih dibeli dari distributor Rp 11.500 per botol. Dari setiap botol bir ini, sang mucikari bisa mengambil keuntungan hingga Rp 10.000 dan bisa berlipat jika dilihat dari pelanggan.
Adapun aparat pemerintah bisa meraup uang dari sejumlah prosedur yang harus dipenuhi para mucikari.
Pada awal mendirikan wisma, misalnya, para mucikari harus membayar tarikan izin usaha yang besarnya Rp 2 juta per wisma. Uang ini dibayarkan kepada RT/RW setempat. “Kabarnya, dari RW, uang ini untuk muspika, seperti camat, kepolisian, dan koramil,” kata Han, salah seorang mucikari.
Meski dikatakan sebagai tarikan wajib, Han tidak bisa menunjukkan bukti aturan seperti perda yang mewajibkan aturan tersebut. “Pokoknya disuruh bayar saja, saya enggak tahu aturannya,” ucap Han.
Izin saja tidak cukup untuk melanggengkan bisnis ini. Setiap tahun para mucikari harus membayar lagi uang Rp 185.000 untuk pemutihan usaha.
Ganti pemilik
Jika dalam perjalanan waktu wisma beralih tangan ke orang lain, maka sang mucikari yang baru juga harus membayar Rp 225.000. Jumlah ini belum termasuk tarikan-tarikan kecil, seperti membayar semacam pengumuman berisi kesepakatan bersama antar-RW yang tertulis dalam kertas laminasi, dan plakat-plakat yang ditempel di dinding, seperti plakat bertuliskan "TNI dilarang masuk tempat ini".
"Untuk aturan dan plakat itu, kami harus membayar masing-masing Rp 50.000," ungkap Han seraya menunjukkan aturan yang dimaksud.
Bagaimana jika menolak membayar aturan itu? Menurut pria beruban ini, para mucikari yang mokong itu harus siap-siap saja mendapat teguran atau pencabutan usaha.
Selain tarikan tersebut, ada tarikan "insidental" yang nilainya cukup besar. Uang ini diberikan kepada petugas keamanan yang berpatroli setiap malam.
Seperti diketahui, setiap melewati pukul 23.00 atau ketika alarm sudah dibunyikan, aktivitas wisma harus usai, termasuk karaoke.
Bagi yang nekat meneruskan harus siap-siap merogoh kocek untuk uang kontrol kepada petugas keamanan. Sekali kedapatan menerima tamu di atas jam itu, mereka harus membayar Rp 8.000 sebagai uang keamanan. Itu pun dibayar setelah ada pengecekan kartu tanda penduduk.
Khusus di kawasan Dolly, besaran denda ini menjadi Rp 25.000. Namun, itu hanya dibayar satu kali oleh mucikari, bukan tamu. Namun jangan salah, meski dibayar mucikari, uang itu sudah dihitung berdasarkan potongan per bulan yang harus dibayarkan PSK kepada mucikari. (Musahadah)
2 comments:
ya itu dia mas, inilah yang disebut dengan baju putih dalaman hitam. proses bisnis seperti ini memang sudah sering dilakukan. bahkan di daerah saya tempat yang biasa digunakan untuk tempat prostitusi juga ada mesjidnya! bisa membayangkan bukan bagaimana jadinya. semua itu tidak lepas dari isi dunia. ada yang putih dan ada yang hitam...hehe...
Memilukan sekaligus memalukan!! Suroboyo yang katanya terdapat pesantren terkenal kelas nasional tapi pemerintahnya merestui percabulan nasional juga...huh!!
Posting Komentar